Senin, 14 Desember 2009

PASAR DOMESTIK DAN EKSPOR PRODUK TANAMAN OBAT
(BIOFARMAKA)
Pusat Studi Biofarmaka, IPB-Bogor
Pasar bahan baku biofarmaka merupakan keragaan supply dan demand dari bahan
baku biofarmaka yang dibutuhkan oleh pabrik, dibedakan atas rimpang dan simplisia.
Demand dan kebutuhan akan jenis biofarmaka yang diperlukan oleh industri obat
tradisional, baik IKOT maupun IOT, juga sangat variatif.
Hampir semua jenis biofarmaka dibutuhkan sebagai bahan baku pembuatan obat
tradisional/jamu oleh berbagai industri obat tradisional Indonesia. Namun demikian, ada
beberapa jenis biofarmaka budidaya yang dibutuhkan industri obat tradisional dalam
jumlah besar, antara lain jahe (Zingiber officinale Roxb.) sebesar 5 000 ton/tahun,
kapulogo (Ammomum cardamomum Auct.) 3 000 ton/tahun, temulawak (Curcuma
aeruginosa Roxb.) 3 000 ton/tahun, adas (Foeniculum vulgare Mill.) 2 000 ton/tahun,
kencur (Kaempferia galanga L.) 2 000 ton kering/tahun, kunyit (Curcuma domestica
Val.) 3 000 ton kering/tahun dan 1 500 ton basah/tahun.
Secara lengkap, data tentang demand biofarmaka budidaya yang diperlukan oleh
industri obat tradisional disajikan pada Tabel 4.3.
Berbagai jenis biofarmaka budidaya yang dibutuhkan oleh pabrik PT Sidomuncul,
PT Air Mancur, PT Indo Farma, Dayang Sumbi, CV Temu Kencono, Indotraco, PT
Nyonya Meneer, Herba Agronusa dan Jamu Jenggot, merupakan sebagian dari serapan
simplisia biofarmaka oleh 10 industri besar dan 12 industri menengah obat tradisional di
Indonesia. Di pasar domestik, rimpang temulawak (Curcuma aeruginoso Roxb.) dan
rimpang jahe (Zingiber officinale Roxb.) merupakan dua jenis biofarmaka budidaya yang
banyak dipasok oleh petani untuk industri obat tradisional, baik industri besar maupun
menengah, yaitu rata-rata 310 870 kg/tahun dan 272 854 kg/tahun
Di Indonesia, komoditas jahe (Zingiber officiniale Rosc.) yang memiliki demand
cukup tinggi baik di pasar domestik, disesuaikan dengan bentuk, ukuran dan warna
rimpangnya. Tiga jenis jahe yang berprospek adalah jahe putih besar (jahe gajah), jahe
putih kecil dan jahe merah. Diantara ketiga jenis jahe tersebut, jahe gajahlah yang
memiliki demand terbesar, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Demand jahe
dalam negeri terus meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan trend peningkatan
konsumsinya, yaitu dengan pertumbuhan 18,71 % setiap tahunnya selama periode 1984-
1990.
Demand jahe gajah di pasar domestik, seperti catatan Koperasi BPTO (Kobapto)
Kab. Tawangmangu, Jawa Tengah, berkisar 5 000 ton per tahun. Hampir semua industri
obat tradisional di Jawa Tengah membutuhkan jahe gajah sebagai bahan baku
produksinya, seperti PT Sidomuncul membutuhkan sekitar 15 ton per bulan, PT Air
2
Mancur 15 ton per bulan, CV Temu Kencono 10 – 12 ton per tahun dan PT Indotraco 40
ton per bulan (lihat tabel 1). Rimpang jahe juga banyak dimanfaatkan oleh 10 industri
besar obat tradisional dan 12 industri obat tradisional menengah pada tahun 1995 – 1999,
yaitu sebanyak 1.364.270 kg. Sedangkan menurut Survey SUBDIT ANEKA TANAMAN
(2001), jumlah kebutuhan jahe dalam negeri adalah 36.200 kg/bulan. Untuk kebutuhan
lokal, demand komoditas jahe gajah yang meningkat seiring dengan semakin banyaknya
pabrik jamu, farmasi, dan kosmetik banyak dimanfaatkan sebagai bahan baku obat
tradisional (jamu), bahan makanan, minuman dan kosmetika.
Tabel 1. Kebutuhan Industri Obat Tradisional Indonesia akan Berbagai Jenis
Biofarmaka
No Nama Bahan Baku Kebutuhan/
tahun
Industri/Perusahaan Penerima
1. Jahe (Zingiber officinale
Roxb.)
5000 ton Semua pabrik:
Sidomuncul = 15 ton/bln
Air Mancur = 15 ton/bln
Temu Kencono= 10-12 ton/thn
Indotraco = 40 ton/bln (gajah)
2. Kapulogo (Ammomum
cardamomum Auct.)
3000 ton Semua pabrik:
Sidomuncul = 10 ton/bln
Nyonya Meneer = 10 ton/bln
Indotraco = 20 ton/bln
3. Temulawak (Curcuma
aeruginosa Roxb.)
3000 ton Semua pabrik
4. Adas (Foeniculum vulgare
Mill.)
2000 ton Semua pabrik
5. Kencur (Kaempferia galanga
L.)
2000 ton
kering
Semua pabrik:
Sidomuncul 7-8 ton/bln
Temu Kencono 5-8 ton/thn
Indotraco 200 – 300 ton/thn
Herba Agronusa 40 ton/thn
6. Kunyit (Curcuma domestica
Val.)
3000 ton
kering;
1500 ton
basah
Semua pabrik:
Sidomuncul 6 ton kering/bln; dan 5
ton basah/hr
7. Bengle (Zingiber purpureum
Roxb.)
300 ton Sidomuncul = 5 – 7 ton/bln
Air Mancur = 2 – 3 ton/bln
8. Daun Jati Belanda (Guazuma
ulmifolia L.)
300 ton Indo Farma = 8 – 12 ton/bln
Sidomuncul = 2 – 3 ton/bln
9. Lempuyang (Zingiberis
zerumbeti R)
200 ton Sidomuncul = 15 ton/bln
3
10. Daun Sembung 100 ton Sidomuncul = 2 – 3 ton/bln
11. Daun Sendok 100 ton Sidomuncul = 2 – 3 ton/bln
12. Pegagan (Centella asiatica) 100 ton Sidomuncul 2 – 3 ton/bln
13. Daun Tempuyung (Sonchus
arvensis)
70 ton Sidomuncul = 2 – 3 ton/bln
Dayang Sumbi = 1 – 5 ton/thn
14. Daun Cengkih 50 ton Sidomuncul = 3 – 4 ton /bln
15. Greges Otot 50 ton Sidomuncul = 2 – 3 ton/bln
16. Daun Katuk 50 ton Indo Farma = 1 ton/bln
17. Kunci pepet (Boesenbergia
pandurata R.)
30 ton Semua pabrik
18. Daun ungu (Graptophyllum
pictum (L) Griff.)
30 ton Sidomuncul = 1-2 ton/bln
Indo Farma = 1 – 2 ton/bln
19. Bunga sidowayah 30 ton Sidomuncul = 2 – 3 ton/bln
20. Tapak liman 25 ton Sidomuncul = 2 – 3 ton/bln
21. Kumis kucing (Orthosipphon
aristatus)
20 ton Jamu Jenggot = 200 kg/bln
Dayang Sumbi= 5-10 ton/thn
Sidomuncul = 200 kg/bln
22. Kayu angin 15 ton Semua pabrik
23. Waron 10 ton Semua pabrik
24. Daun Kemuning (Murraya
paniculata Jack.)
10 ton Semua pabrik
25. Kayu secang 3 – 4 ton Semua pabrik
Sumber: Diolah dari berbagai sumber, 2002.
Namun demikian, kenyataan di lapang menunjukkan bahwa agribisnis biofarmaka
tidak berkembang dengan baik dan merata di seluruh Indonesia, karena petani dan pelaku
usaha kurang memahami kebutuhan pasar domestik dan ekspor yang menginginkan
produk siap pakai yang telah diolah. Kurangnya pemahaman tersebut karena menjual
biofarmaka memang tak semudah menjual tanaman hortikultura lainnya, seperti sayursayuran
atau buah-buahan. Disamping itu, keengganan petani untuk mengusahakan
biofarmaka karena demand nya relatif belum semassal komoditas sayur-sayuran ataupun
buah-buahan dan diantara ratusan jenis yang diperlukan industri obat tradisional hanya
sedikit tanaman yang biasa dibudidayakan petani, seperti kencur di Nogosari dan jahe
emprit di Ampel-Boyolali.
Sebagai dampak dari kondisi diatas adalah belum/tidak terpenuhinya jumlah
pasokan yang diminta oleh industri obat tradisional akan beberapa komoditas biofarmaka
yang diperlukan, baik yang tumbuh liar maupun tanaman yang telah dibudidayakan.
Bahkan sangat ironis sekali dengan adanya pernyataan dari APETOI bahwa stok
biofarmaka Indonesia hanya cukup memenuhi permintaan untuk enam bulan saja. Hal ini
4
menunjukkan bahwa eksistensi simplisia biofarmaka benar-benar sangat terbatas
(TRUBUS, 2001).
Sebagai contoh, komoditas pegagan (Centella asiatica), herba liar yang tumbuh di
pekarangan, kebun atau dibawah tegakan hutan, yang dibutuhkan pabrik lokal 25 ton per
tahun hanya sanggup dipasok sebesar empat ton per tahun. Tidak hanya tanaman liar
yang masih diburu dari alam bebas, beberapa biofarmaka yang telah dibudidayakan pun
banyak yang belum mampu memenuhi permintaan pasar domestik.
Jahe merah dan jahe emprit, biofarmaka yang selama ini telah dibudidayakan,
yang dibutuhkan industri obat tradisional sebanyak 250 ton per minggu tidak dapat
terpenuhi dari pasar domestik sehingga perlu dipasok dari pasar luar negeri yaitu melalui
impor dari negara Cina. Komoditas adas yang kebutuhan nasionalnya mencapai 2000 ton
per tahun, juga masih dipenuhi dari impor.
Kencur (Kaempferia galanga L.), yang termasuk salah satu komoditas budidaya
yang belum mampu memenuhi permintaan industri obat tradisional, dengan tingkat
kebutuhan nasional 125 – 150 ton per minggu baru dapat terpenuhi sekitar 80 – 100 ton.
Demikian pula halnya dengan daun makuto dewa, dari kebutuhan pabrik sebesar satu ton
per bulan baru terpenuhi tidak lebih dari 15 – 20 kg/bulan.
Di Jawa Tengah, dengan lebih dari 100 industri obat tradisional besar, menengah
dan kecil (rumahan), mengalami masalah yaitu tidak dapat terpenuhinya kapasitas
produksi pabrik karena kekurangan bahan baku biofarmaka. Sebagai contoh, PT
Indotraco Jaya Utama yang membutuhkan 180 ton kapulaga (Ammomum cardamomum
Auct.) gelondong per tahun belum dapat terpenuhi dari pasokan dalam negeri. Padahal,
jika melihat potensi di wilayah Priangan Timur, lahan biofarmaka ini cukup luas.
Misalnya, di wilayah Kabupaten Ciamis yang memiliki tiga lokasi potensial untuk
budidaya biofarmaka, yakni Gunung Sawal, Pangandaran, dan Panjalu. Di Kabupaten
Tasikmalaya, terdapat sekitar 62 757 hektare perkebunan rakyat yang bisa digunakan
untuk menanam biofarmaka. Juga di Kabupaten Garut, yang memiliki ketinggian mulai 0
hingga 1500 derajat, sangat potensial untuk budidaya biofarmaka. Di Kabupaten
Sumedang sendiri, tanaman herbal telah ditanam diatas areal seluas 2 054.2 hektar
dengan produksi 9 107 ton dengan jumlah petani yang terlibat 9 218 orang.
PT Sidomuncul, produsen jamu terbesar di Indonesia, membutuhkan pasokan
sekitar 650 ton bahan baku biofarmaka (kapulaga, temulawak, temu ireng, kunyit,
lengkuas dan lempuyang) setiap bulan. Jumlah ini masih dibawah kapasitas produksi
yang mencapai 800 ton per bulan. Selain itu, PT Sidomuncul membutuhkan kunyit
(Curcuma domestica Val.) tidak kurang dari lima ton rimpang basah per hari, itupun
belum terpenuhi. Komoditas lengkuas (Languas galanga (L) Stuntz.) dan lempuyang
(Zingiberis zerumbeti R) yang masing-masing diperlukan sebanyak 15 ton kering setiap
bulan namun baru sekitar 30 – 40 ton per tahun yang dipasok oleh para petani mitra.
Kebutuhan pabrik akan komoditas kencur (Kaempferia galanga L.) sebanyak 7 – 8 ton
5
per hari atau 100 ton per tahun baru terpenuhi dari kontribusi petani sebanyak 20 ton
(lihat tabel 3 diatas).
PT Jamu Nyonya Meneer yang memproduksi 200 ton jamu bubuk dan empat ton
kapsul per bulan, juga mengalami kesulitan dalam memperoleh pasokan. Komoditas
kapulaga (Ammomum cardamomum Auct.) misalnya, dari kebutuhan 10 – 15 ton per
bulan baru sekitar lima ton yang dapat dipasok secara rutin oleh para petani pemasok.
PT Indofarma, yang merupakan badan usaha milik negara di bawah Departemen
Kesehatan, juga mengalami kesulitan pasokan bahan baku daun jati belanda (Guazuma
ulmifolia Lamk.) yang membutuhkan minimal 8 – 12 ton per bulan hanya dapat dipasok
oleh petani sebanyak empat ton per tahun. Sebagai dampaknya, industri obat tradisional
PT Indofarma tersebut hanya mampu memproduksi Prolipid (pil antikolesterol) sebanyak
20 000 botol per bulan atau 1,2 juta butir per bulan dari kapasitas produksi pabrik yang
mencapai 50 000 botol per bulan atau target produksi 25 000 – 30 000 botol per bulan
sesuai dengan permintaan pasar pada tahun 2001. Demikian pula halnya dengan
komoditas daun katuk, yang menjadi bahan baku produk Proasi, yang membutuhkan satu
ton per bulan juga tidak dapat terpenuhi (TRUBUS, 2001).
Fenomena tersebut diatas menunjukkan bahwa pasar domestik bahan baku dan
simplisia biofarmaka masih terbuka sangat lebar. Namun demikian, kita juga tidak dapat
menutup mata dengan permasalahan yang dihadapi para petani pemasok, yaitu rendahnya
kualitas bahan baku dan simplisia yang dihasilkannya, sementara industri obat tradisional
menuntut kualitas yang tinggi agar bahan baku dan simplisia biofarmaka dapat diproses
lebih lanjut menjadi obat atau kosmetika.
Perkembangan industri herbal medicine dan health food di Indonesia dewasa ini
meningkat dengan pesat. Pemanfaatan sumberdaya alam hayati, khususnya dari jenis
biofarmaka, akan terus berlanjut, sehubungan dengan kuatnya keterkaitan bangsa
Indonesia terhadap tradisi kebudayaan memakai obat tradisional. Kecenderungan ini telah
meluas ke seluruh dunia dan dikenal sebagai gelombang hijau baru new green wave atau
trend gaya hidup kembali ke alam back to nature.
Indonesia termasuk salah satu pusat raksasa (mega center) keanekaragaman
hayati. Meskipun mempunyai keanekaragaman hayati yang melimpah namun sebagian
besar belum diketahui manfaatnya. Baru sekitar 600 jenis tumbuhan, 1000 jenis hewan
dan 100 jenis jasad renik yang telah diketahui potensinya dan dimanfaatkan oleh
masyarakat. Indonesia, dengan kekayaan alamnya yang melimpah dan belum
termanfaatkan secara optimal, mempunyai potensi yang tinggi untuk digunakan sebagai
lahan pengembangan industri herbal medicine dan health food yang berorientasi ekspor.
Kondisi lahan yang variatif tersedia mulai lahan dengan kondisi pantai hingga lahan
pegunungan dengan sebagian besar lahan yang ada belum termanfaatkan dengan baik.
Komoditas – komoditas seperti tanaman atsiri, tanaman rempah-rempah dan
biofarmaka-obatan secara tradisional adalah komoditas andalan ekspor Indonesia.
6
Berbeda dengan komoditas yang mempunyai pasar lokal, komoditas ini sangat tangguh
terhadap gangguan krisis moneter karena basis harga pemasarannya dalam dollar
Amerika. Dalam kondisi saat ini harga jual yang tinggi (dalam rupiah) ini menjadikan
produk berbasis sumberdaya alam ini sebagai penghasil devisa yang tangguh.
Pasar herbal dunia pada tahun 2000 adalah sekitar USD 20 milyar dengan pasar
terbesar adalah di Asia (39 %), diikuti dengan Eropa (34 %), Amerika Utara (22 %) dan
belahan dunia lainnya sebesar lima persen. Sedangkan nilai pasar untuk beberapa
komoditas agromedisin dalam bentuk ekstrak herbal tunggal, menurut IRI untuk tahun
1999 (dalam juta USD) adalah Gingko 90,197; Ginseng 86,048; Garlic 71,474;
Echinaceae 49,189; St. John’s Wort 47,774 dan Saw Palmetto 18,381.
Dari total nilai pasar food supplement di Eropa pada tahun 1999 yaitu sebesar
USD 13.5 milyar, sebesar 55 % diantaranya adalah produk herbal (sekitar USD 7.43
milyar). Dalam mana Jerman mendapat pangsa sekitar 48 % (+ USD 3.57 milyar),
Perancis 24 % (USD 2 milyar), Italia 9 % (USD 0.73 milyar), Inggris enam persen ( USD
0.52 milyar) dan sisanya negara Eropa lainnya. Hal yang menarik adalah nilai penjualan
obat-obatan di Jerman diperoleh melalui resep dokter yang biayanya ditanggung oleh
sistem asuransi kesehatan, yaitu sebanyak 54,3% (DAZ-138 Jg Nr.19, 1998) dan sisanya
diperoleh melalui cara pengobatan sendiri.
Di Amerika Serikat, total pasar food supplement pada tahun 2000 mencapai USD
16.7 milyar, sebesar 25 % diantaranya (USD 4.2 milyar) adalah produk herbal. Untuk
kawasan Asia, dalam hal ini Cina (dengan kurang lebih 1200 industri dan 600 di
antaranya memiliki kebun terintegrasi dengan pabrik), dari sumber yang layak dipercayai
dapat meraup omset USD 5 milyar (domestik) dan USD satu milyar (ekspor). Dari
pangsa pasar sebesar itu, sebanyak 180 jenis Traditional Chinese Medicine (TCM) diakui
oleh Pemerintah dan dimasukkan dalam Daftar Obat Program Pemerintah bersama –
sama dengan obat modern. Nilai yang besar dapat teramati untuk penjualan TCM ke
Hongkong, Benin, Jepang, Arab Saudi, dan Australia. Sementara dari daftar yang lain
dapat diketahui bahwa nilai ekspor TCM, bahan baku maupun ekstrak dari Cina jauh
lebih tinggi dari nilai impornya.
Lebih jauh tentang Cina, berdasar data terakhir tahun 2000, ada 11146 jenis
biofarmaka yang dimanfaatkan pada industri TCM dengan memanfaatkan area seluas
760.000 hektar dengan total output 8.500.000 metrik ton dan secara rutin
membudidayakan sekitar 200 jenis biofarmaka utama sepanjang tahun.
Saat ini produk industri herbal medicine dan health food Indonesia
dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu kelompok jamu, kelompok ekstrak dan
kelompok fitofarmaka. Secara umum upaya pengembangan obat tradisional mengarah
kepada pengembangan kelompok fitofarmaka. Jika sasaran ini tercapai, maka peluang
pemanfaatannya akan semakin besar; dengan tidak hanya digunakan sebagai produk
swamedikasi tetapi juga dapat dimanfaatkan dalam sistem pelayanan kesehatan formal.
7
Omset penjualan herbal medicine di Indonesia sangat kecil dibandingkan dengan di Cina,
Jerman maupun USA.
Berdasarkan hasil pemantauan diperkirakan di seluruh dunia terdapat 250.000
tumbuhan tinggi dan diperkirakan paling sedikit 20 % berupa tumbuhan obat yang
digunakan dalam obat tradisional. Indonesia telah dikenal sebagai salah satu dari ketujuh
negara yang mempunyai keanekaragaman hayati yang menakjubkan dan tercatat sebagai
negara dengan kekayaan hayati nomor dua di dunia.
Bagi manusia, sudah jelas manfaatnya yaitu sebagai obat, kosmetik, pengharum,
penyegar, pewarna, senyawa model dan sebagainya. Pemanfaatan oleh manusia ini
didasarkan pada keanekaragaman struktur dan aktivitas metabolit sekunder tersebut.
Keanekaragaman metabolit sekunder ini memberikan harapan untuk dikembangkan
lebioh lanjut menjadi obat dari berbagai macam penyakit seperti anti bakteri, anti jamur,
antimalaria, anti kanker dan anti HIV.
Di Indonesia diketahui tidak kurang dari 7000 spesies tanaman dan tumbuhan
yang memiliki khasiat obat aromatik. Hutan Indonesia memiliki spesies biofarmaka tidak
kurang dari 9606 spesies. Dari jumlah itu, baru 3 – 4 % yang sudah dibudidayakan dan
dimanfaatkan secara komersial atau tercatat 350 biofarmaka telah diidentifikasi
mempunyai khasiah obat.
Pemanfaatan bahan baku obat tradisional oleh masyarakat mencapai kurang lebih
1000 jenis, dimana 74% diantaranya merupakan tumbuhan liar yang hidup di hutan.
Tingkat pemanfaaatan tumbuhan obat yang ada dapat dinyatakan masih jauh dari potensi
yang ada di alam. Oleh karena itu dengan meningkatnya kebutuhan bahan baku –
simplisia, dan meluasnya permintaan pasar domestik maupun ekspor, akan meningkatkan
pemanfaatan tumbuhan obat liar di hutan-hutan yang mungkin selama ini hanya dianggap
sebagai semak belukar atau diambil hasilnya sebagai kayu bakar atau kayu bangunan.
Dan kenyataan ini akan memaksa akan perlunya suatu kesadaran terhadap pemanfaatan
sumber daya alam hayati secara lebih hati-hati dan lebih optimal dan lebih didasarkan
pada kesadaran bahwa alam merupakan stok bahan baku obat-obatan yang potensial.
Peningkatan demand biofarmaka lokal berjalan seiring dengan semakin
banyaknya jumlah industri jamu, farmasi dan kosmetika. Perkembangan jumlah industri
obat tradisional dan keanekaragaman produknya, dengan ciri khas ekologi dan topografi
masing-masing wilayah di Indonesia, terus meningkat sepanjang tahun.
Demam obat-obat alami dan ramuan tradisional (back to nature) tidak hanya
melanda konsumen di negara Indonesia namun juga sudah menjangkiti Eropa dan
Amerika sejak beberapa tahun yang lalu. Seiring dengan meningkatnya minat
masyarakat, di pasar bermunculan pula beraneka jenis obat-obatan dari tumbuhan alami.
Tak hanya dalam bentuk jamu tradisonal, obat alami itu telah diolah dan dikemas secara
modern. Berbagai aneka obat dari ekstrak tumbuhan alias fitofarmaka yang gencar
beriklan dan sekarang mulai jadi primadona. Contohnya Prolipid, Prouric, Prorelax,
8
Prodiab, Ginko Biloba dan lain sebagainya. Prolipid, obat penurun kolesterol yang dibuat
dari ekstrak daun jati Belanda dan tempuyung, yang diproduksi pabrik obat di Indonesia
memiliki pangsa pasar cukup tinggi. Sejak diluncurkan empat tahun silam, penjualan obat
Prolipid meningkat 100% setiap tahunnya. Secara nasional permintaan obat tradisional
yang lainnya juga cukup besar dan terus meningkat. Tahun 2002 ini diperkirakan omzet
obat alami secara nasional nilainya minimal satu triliun rupiah, dan tahun depan (tahun
2003) diperkirakan meningkat menjadi Rp. 1,4 triliun.
Industri obat tradisional Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat. Tahun
1992 jumlah Industri Obat Tradisional Indonesia berjumlah 449 buah yang terdiri dari
429 buah Industri Kecil Obat Tradisional (IKOT) dan 20 buah Industri Obat Tradisional
(IOT). Pada tahun 1999 jumlah Industri Obat Tradisional Indonesia telah meningkat
menjadi 810 yang terdiri atas 833 buah IKOT dan 87 buah IOT (diperkirakan pada tahun
2002 ini sudah mencapai sekitar 1000 industri). Industri sebanyak ini mampu
menghasilkan perputaran dana sekitar Rp. 1.5 trilyun per tahun. Peningkatan jumlah
industri obat tradisional tersebut signifikan dengan peningkatan total nilai jual produk
obat asli Indonesia di dalam negeri, yang mana 95,5 milyar rupiah pada tahun 1991
meningkat hingga mencapai nilai 600 milyar rupiah pada tahun 1999.
Disamping meningkatnya jumlah IKOT dan IOT, potensi pasar dalam negeri di
Indonesia masih terbuka lebar dengan adanya kebiasaan masyarakat Indonesia meminum
jamu. Survey perilaku konsumen dalam negeri menunjukkan 61,3 % responden
mempunyai kebiasaan meminum jamu tradisional. Hal ini menunjukkan bahwa budaya
minum jamu yang merupakan tradisi leluhur sebagian bangsa Indonesia sudah
memasyarakat. Ini adalah potensi besar untuk mengembangkan pasar domestik dari
produk biofarmaka.
Prospek pemasaran biofarmaka di Indonesia masih cerah. Hal ini didukung selain
jamu tetap digemari oleh masyarakat Indonesia secara luas karena merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari budaya masyarakat, harga jamu juga lebih murah
dibandingkan obat farmasi serta sugesti masyarakat terhadap khasiat jamu adalah salah
satu faktor pendukung pengembangan industri jamu.
Potensi biofarmaka Indonesia juga masih besar untuk digali. Sebagai negara yang
kaya akan jumlah jenis biofarmaka dan yang merupakan negara kedua terbesar setelah
Brazil, Indonesia memiliki 40 000 spesies tanaman dan 940 diantaranya berkhasiat obat.
Namun demikian, dari 646 biofarmaka yang diteliti baru sekitar 465 jenis yang
dimanfaatkan oleh Industri Tradisional, sehingga prospek biofarmaka untuk lebih
dieksplorasi dan dikembangkan seiring kemajuan ilmu dan teknologi terbuka lebar.
Peningkatan ekspor simplisia biofarmaka ke berbagai negara tujuan cukup
meningkat sejalan dengan meningkatnya industri-industri farmasi di dunia. Sebagai
gambaran, total nilai dagang biofarmaka dunia mencapai US$ 45 miliar pada tahun 2001,
dan diperkirakan akan terus meningkat menjadi US$ 5 triliun pada tahun 2005. Dari total
9
nilai perdagangan produk biofarmaka dunia tersebut, omzet penjualan biofarmaka
Indonesia baru mencapai US$ 100 juta per tahun. Hal ini berarti, kontribusi ekspor
biofarmaka Indonesia baru sekitar 0,22 % saja.
Walaupun kontribusi pada nilai perdagangan dunia kecil, namun secara riil ekspor
simplisia biofarmaka Indonesia pada tahun 1979 sebesar US$ 700 687 dan pada tahun
1987 meningkat sebesar US$ 3 733 000. Kecenderungan masyarakat dunia yang
memprioritaskan produk yang ekologis daripada kimiawi, menyebabkan demand akan
obat bahan alami juga akan meningkat terus. Nilai obat modern yang berasal dari ekstrak
tumbuhan tropis di dunia pada tahun 1985 mencapai US$ 43 milyar, 25 % obat modern
tersebut bahan bakunya berasal dari tumbuhan. Sedangkan nilai jual obat tradisional pada
tahun 1992 di dunia mencapai US$ 8 milyar.
Ekspor bahan baku dan simplisia biofarmaka Indonesia mengalami peningkatan
yang cukup menggembirakan. Tahun 1979 nilai jual biofarmaka Indonesia adalah US$
700.687 dan pada tahun 1987 meningkat menjadi US$ 3.733.000. Dengan demikian
terjadi peningkatan sebesar 432,76%, seperti tersaji pada Tabel 2 dibawah.
Tabel 2. Perkembangan Nilai Ekspor Biofarmaka 1998-Oktober 2002
Tahun Nilai Ekspor (Juta US$) Pertumbuhan (%)
1998 4.8 -
1999 5.5 15,39
2000 7.4 33,64
2001 5.3 -23,24
Oktober 2002 3.6 -23,17
Sumber : DEPARTEMEN PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN, 2003.
Peningkatan rata-rata per tahun sejak tahun 1979 hingga tahun 1984 adalah
sebesar 29.47 % per tahunnya. Jika seandainya tidak ada faktor-faktor lain ceteris paribus
yang mempengaruhi sampai tahun 1984, maka ekspor biofarmaka Indonesia tahun 2000
dapat mencapai US$ 26.055.063 dan pada tahun 2001 dapat mengekspor 839 590 000 Kg
dengan nilai US$ 890 240 000.
Perusahaan yang terlibat langsung dalam ekspor simplisia biofarmaka antara lain
PT Djasula Wangi senilai US$ 4 494,75 dan PT Teluk Intan Sejahtera senilai US$ 13
475, dengan negara tujuan ekspor adalah Istambul. Sedangkan negara tujuan ekspor
tumbuhan obat Indonesia tahun 1987 sampai 1991 disajikan pada Tabel 3.
10
Beberapa negara pengimpor terbesar biofarmaka asal Indonesia pada kurun tahun
1987 hingga tahun 1991 adalah Singapore, Taiwan, Hongkong dan Jepang. Secara
umum, trend nilai penjualan biofarmaka yang diekspor ke berbagai negeri berfluktuatif,
menurun dalam kurun waktu 1987 – 1990 kemudian naik pada tahun 1991. Selanjutnya,
peningkatan ekspor simplisia biofarmaka ke pasar internasional dapat ditunjukkan dari
neraca perdagangan internasional biofarmaka Indonesia adalah positif pada lima tahun
terakhir (tahun 1996 - 2001). Pada kurun waktu tersebut, nilai surplus ekspor tertinggi
terjadi pada tahun 1997 dengan nilai sebesar US$ 400 476 000.
Tabel 3. Negara Tujuan Ekspor Biofarmaka Indonesia Tahun 1987-1991
Nilai Ekspor/Tahun
(dalam ribuan US$)
No Negara Tujuan
1987 1988 1989 1990 1991
1. Jepang 476 391 205 427 390
2. Hongkong 756 277 196 316 700
3. Rep. of Korea - - 5 - 4
4. Taiwan 902 550 8 77 11
5. Thailand - - 2 - -
6. Singapore 1.449 1.369 771 410 385
7. Philipina - - - - 9
8. Malaysia 10 98 35 83 47
9. U.A. Emirat 9 - - - -
10. Netherland 2 1 - 23 -
11. Perancis 32 - - - -
12. Jerman 135 105 56 87 117
13. India - - 107 288 409
14. Bel. & Lux. - - - - 12
15. Spanyol 3 - - - -
Total 3.774 2.791 1.385 1.711 2.084
Sumber : BIRO PUSAT STATISTIK (1991) DALAM SJAHROEL (1993).
Berbagai jenis biofarmaka Indonesia banyak diminta oleh pasar dunia
internasional. Sebagai gambaran, sebanyak dari 45 macam obat penting di Amerika
berasal dari tumbuhan obat dan aromatik tropika, 14 spesies diantaranya berasal dari
biofarmaka asli Indonesia. Hasil penelitian yang dilakukan oleh International Trade
Centre (ITC) UNCTAD/GATT di enam negara terbesar pasaran biofarmaka-obatan dan
olahan-olahan, mencatat beberapa jenis tanaman yang memiliki tingkat demand tinggi di
negara-negara industri farmasi, seperti tersaji pada tabel 4.
11
Tabel 4. Jenis Biofarmaka yang Dominan Dipasok Negara Industri Farmasi
No Komoditas Nama Ilmiah Bagian Tanaman
yang Digunakan
Negara Tujuan
Ekspor
1. Tapak dara Catharanthus roseus Daun
2. Kina Catharanthus roseus Kulit batang
3. Kecubung Datura metel Daun
4. Wortel Caphaelis ipecacuantha Umbi
5. Liquorice Glyzirizha glabra Akar
6. Jahe Zingiber officinale Rimpang
7. Pulai pandak Rauwolfia vomitoria Akar
8. Valerian Valerian officinalis Akar
Amerika Serikat
Jepang
Federal Republik
Ghana
Perancis
Switzerland
United Kingdom
Sumber: Dari Berbagai Sumber, 2002.
Beberapa negara industri farmasi dan negara tujuan ekspor komoditas biofarmaka
Indonesia yang memiliki potensi pasar yang baik dan berprospek adalah USA, Perancis,
Jepang, FRG, Switzerland dan Inggris. Disamping itu, jenis-jenis biofarmaka yang
diminta oleh negara-negara industri farmasi, seperti tapak dara (Catharanthus roseus),
kina (Catharanthus roseus), kecubung (Datura metel), pulai pandak (Rauwolfia
vomitoria) dan valerian (Valerian officinalis) umumnya dapat tumbuh di Indonesia dan
tidak membutuhkan persyaratan yang spesifik untuk tumbuhnya.
Jika dilihat dari besarnya peluang pasar di luar negeri maka dalam kaitannya
dengan peningkatan jenis bahan obat alam yang diekspor ini perlu dilakukan pengecekan
tentang jenis-jenis simplisia yang dibutuhkan oleh pasaran internasional dan dapat
diusahakan di Indonesia mengingat Indonesia memiliki sumberdaya alam yang sangat
besar. Beberapa simplisia biofarmaka tertentu yang saat ini dibutuhkan oleh pasar
internasional dan dapat diusahakan di Indonesia serta negara yang berpotensi untuk
menerima pasokan dari Indonesia, yaitu
(1) Komoditi yang dibutuhkan negara Jepang, adalah: Zizyphi Fructus, Cinanomi Cortex,
Amomi Semen, Cinchonae Cortex, Caryophylli Flos, Cardamomi Fructus, Bupleuri
Radix, Rhei Rhizoma, Coix lacrymajobi, dan Rauwolfiae Radix.
(2) Komoditi yang dibutuhkan negara Republik Federasi Jerman, adalah: Kulit kina,
alkaloid kina (Cinchonae Cortex), ketumbar (Coriandri Fructus), lidah buaya (Alloe
vera), adas (Anisi Fructus), biji pinang (Arecae Semen), daun kayu putih (Eucalypti
Folium), akar pulai pandak (Rauwolfiae Radix), kulit kayu manis (Cinnamomi
Cortex), meniran (Phyllanti Herba), kapulaga (Amomi Fructus), dan Sambiloto
(Andrographidis Herba).
Beberapa spesies biofarmaka yang saat ini mendapat perhatian dalam
perdagangan internasional dan memiliki prospek yang cerah, antara lain adalah tapak
12
dara (Catharanthus roseus), kecubung (Datura fastuosa dan Datura metel), serta pulai
pandak (Rauwolfia sp), Digitalis sp, dan Dioscoreae sp.
Sedangkan BPEN mencatat trend demand komoditas biofarmaka yang banyak
diekspor ke pasar internasional adalah jahe (Zingiber officinale). Ekspor Indonesia akan
komoditas jahe (Zingiber officinale) meningkat 101,8 % setiap tahunnya untuk kurun
waktu antara tahun 1986-1990. Peningkatan ekspor jahe ini menunjukkan pangsa pasar
jahe Indonesia di pasar Internasional dari 2,4 % tahun 1988 menjadi 12,9 % tahun 1991,
walaupun terjadi penurunan demand jahe di pasar internasional pada tahun 1995 menjadi
9 % per tahun, namun demand kembali meningkat pada tahun 2002 menjadi 13 % setiap
tahunnya. Ekspor jahe Indonesia rata-rata meningkat 32.75 % per tahun. Sedangkan
pangsa pasar jahe Indonesia terhadap pasar dunia 0,8 %, hal ini berarti bahwa peluang
Indonesia sangat besar untuk meningkatkan ekspor.
Walaupun volume ekspor jahe cukup tinggi, tetapi sebagian besar ekspor jahe
masih dalam bentuk bahan mentah (rimpang jahe segar) dan setengah jadi (jahe asinan
dan jahe kering), sedangkan dalam bentuk yang diolah (produk jadi) sangatlah sedikit.
Lima negara yang menampung hasil ekspor komoditas jahe dalam bentuk jahe segar
adalah Malaysia, Hongkong, Perserikatan Emirat Arab, Singapura dan Saudi Arabia.
Sedangkan lima negara tujuan ekspor komoditas jahe kering Indonesia adalah Jepang,
Singapura, Thailand, India dan Perserikatan Emirat Arab.
Jika dibandingkan, volume dan nilai ekspor komoditas jahe segar (rimpang) jauh
lebih besar daripada jahe kering (simplisia). Sebagai contoh, pada tahun 1998 volume dan
nilai ekspor jahe segar masing-masing sebesar 32 807 661 Kg dan US$ 9 286 161 jauh
lebih besar dibandingkan volume dan nilai ekspor jahe kering masing-masing sebesar 507
550 Kg dan US$ 554 023. Besarnya volume dan nilai ekspor rimpang jahe ini tidak
menutup kemungkinan jahe tersebut akan diproses lebih lanjut, karena dari sisi harga
lebih murah menjual rimpang jahe daripada bentuk simplisia. Penggunaan jahe di luar
negeri sekitar 35 % untuk kebutuhan rumahtangga dan 65 % untuk keperluan industri.
Komoditas jahe gajah di luar negeri, dimanfaatkan sebagai bahan makanan,
minuman, bentuk rimpang segar, ataupun sebagai food supplement yang banyak diminati
konsumen di Eropa, Amerika, Timur Tengah, Asia Selatan, dan lain sebagainya atau
sebagai jahe asinan di Jepang. Disamping itu, komoditas jahe gajah digunakan sebagai
obat batuk dalam bentuk pil di negara India dan sebagai tonikum dan obat perangsang di
negara Cina dan Malaysia. Beberapa perusahaan, seperti PT Emeralindo Hijau Lestari,
menjadikan komoditas jahe gajah sebagai core business bagi perusahaannya dengan
sasaran ekspor ke pasar Uni Emirat Arab, Arab Saudi, Kuwait, Bahrain, Pakistan,
Bangladesh, Singapura, Brunei, Jepang, Perancis dan Kanada.
Seperti yang telah dikemukakan di depan, prospek tanaman jahe di pasar
internasional saat ini cukup cerah, dimana laju konsumsi dunia meningkat sebesar 6,7 %
setiap tahunnya, karena peningkatan kebutuhan dunia akan produk jahe yang belum dapat
13
tergantikan fungsinya dengan produk lain. Nilai ekspor jahe dunia secara terinci disajikan
pada tabel 4.7.
Dari Tabel 4.7 diperlihatkan bahwa nilai ekspor jahe dunia untuk tahun 2000
tercatat sebesar US$ 128 112 000. Lima negara pengekspor jahe terbesar adalah China,
Thailand, India, Indonesia dan Brazil, dengan nilai ekspor masing-masing adalah US$ 71
138 000,-; US$ 18 394 000,-; US$ 5 914 000,-; US$ 5 797 000,-; dan US$ 576 000,-
Dari Tabel 5 tersebut juga diperlihatkan bahwa pada tahun 2000, produksi jahe
dunia sebesar 812 372 ton dan Indonesia menduduki peringkat ke empat produsen jahe di
dunia setelah negara India, Cina dan negara Nigeria. Bahkan Indonesia tidak mampu
menyediakan jahe gajah yang diminta negara Belanda sebanyak 40 ton per bulannya.
Tabel 5 Nilai Ekspor Jahe Dunia dan Ekspor 10 Negara Pesaing Tahun 2000
No. Negara Pemasok Ekspor (US $.000) Persentase (%)
1. China 71 138 55,53
2. Thailand 18 394 14,36
3. India 5 914 4,67
4. Indonesia 5 797 4,52
5. Brazil 5 476 4,27
6. Belanda 3 883 3,03
7. Nigeria 3 316 2,59
8. Nepal 2 763 2,16
9. Singapura 2 301 1,80
10. Ethiopia 1 021 0,80
11. Lain-lain 6 508 5,08
Dunia 128 112 100
Sumber: FOOD AGRICULTURE ORGANIZATION (FAO), 2001.
Pada Tabel 5 juga terlihat, bahwa market share Indonesia dalam perdagangan jahe
dunia adalah sebesar 4,52 %. Market share ini masih kecil jika dibandingkan dengan
potensi sumberdaya alam yang dimiliki oleh Indonesia. Jika dilihat dari total produksi
jahe Indonesia pada tahun 2000, yaitu sebesar 71 900 ton dan masih tersedianya tanah
pertanian yang cukup luas maka market share tersebut masih memiliki peluang untuk
dikembangkan karena umumnya budidaya jahe tidak membutuhkan persyaratan tanam
yang spesifik.
Dari uraian diatas, jika dilihat dari prospek biofarmaka maka masalah pemasaran
jahe sebenarnya bukanlah masalah, karena pasar domestik dan internasional cukup
terbuka lebar. Namun kenyataannya, Indonesia belum dapat memenuhi demand pasar
14
internasional yang terus meningkat tersebut. Jahe gajah yang harganya US$ 300/ton,
Indonesia baru bisa men-supply 10 % dari permintaan dunia yang berjumlah 30.000
ton/tahun.
Demikian pula halnya dengan biofarmaka yang lain. Jika dilihat dari prospeknya,
maka pemasaran di luar negeri bukanlah masalah karena pasar biofarmaka ini masih
belum optimal dan terbuka lebar, sementara pasokannya jauh lebih kecil. Tanaman
kapulaga (Ammomum cardamomum Auct.) misalnya, dari demand negara Cina yang
berjumlah 400 ton per bulan, negara Indonesia baru bisa men-supply 40 ton atau hanya
sekitar 10 % -nya. Komoditas kapulaga ini selain diminta negara Cina, juga diminta oleh
negara Singapura, Korea dan Hongkong. Dari demand negara Singapura akan kapulaga
gelondong sebesar 180 ton per tahun, Indonesia baru dapat memenuhi sebesar 80 ton
kapulaga gelondong per tahun. Sementara demand Singapura untuk kapulaga kupasan 72
ton per tahun tidak dapat terpenuhi karena keterbatasan bahan dan teknologi yang
dimiliki oleh para petani dalam negeri. Permintaan kapulaga kupasan oleh negara Korea
sebesar enam ton/tahun dan negara Hongkong sebesar lima ton per tahun, juga tidak
terpenuhi.
Contoh lainnya adalah tanaman cabe jawa (piper retrofractum), dari permintaan
dunia yang berjumlah 6.000.000 ton, Indonesia baru bisa mensuplai 1/3 nya. Sama halnya
dengan komoditas tanaman kencur (Kaemferia Galanga, Linn), yang harganya mencapai
US$ 1.100/ton, dari permintaan ekspor dunia sebesar 200 – 300 ton per tahun hanya
terpenuhi sekitar 62 ton per tahun. Disamping itu, Indonesia tidak dapat memenuhi
demand pasar dunia internasional akan komoditas bangle (Zingiber purpureum Roxb.)
dan biofarmaka lempuyang (Zingiberis aromaticum dan Zingiberis zerumbeti).